Legenda Pahlawan Rakyat: Brandhal Noyo Gimbal, Api Perlawanan dari Rembang

 



Di tanah Rembang yang damai, di antara hamparan sawah dan pepohonan jati yang menjulang, hiduplah seorang lelaki sederhana namun berhati baja. Namanya Noyo Sentika — tetapi rakyat lebih mengenalnya dengan sebutan Noyo Gimbal. Julukan itu bukan tanpa sebab. Rambutnya panjang, kusut, dan tak terurus, bergelombang liar seperti semangatnya yang tak pernah bisa dijinakkan oleh siapa pun.

Namun di balik sosoknya yang tampak sederhana, tersembunyi jiwa pemberontak sejati. Noyo Gimbal bukanlah perampok, bukan pula penjahat — ia adalah brandhal rakyat, pejuang sejati yang menentang ketidakadilan penjajah Belanda.


Awal Perlawanan: Api yang Menyala dari Kapasan

Pada masa itu, Noyo Gimbal adalah seorang sesepuh desa Kapasan, Kecamatan Sulang. Ia dikenal bijak dan berani, selalu menentang perintah yang menindas rakyatnya. Suatu hari, Wedana Sulang, seorang pejabat yang tunduk pada perintah Belanda, memanggilnya menghadap.

“Rakyat Kapasan harus menanam pohon jati,” titah Wedana dengan suara dingin. “Kelak bila besar, kayu-kayu itu akan diserahkan kepada pemerintah Belanda.”

Perintah itu terdengar seperti cambuk di telinga Noyo Gimbal. Ia tahu maksudnya — rakyat hanya dijadikan alat untuk memperkaya penjajah. Dengan tegas ia menolak.

“Tanah ini milik rakyat, bukan untuk dijajah!” katanya lantang.


Pertengkaran pun tak terelakkan. Amarah dan kehormatan bertemu dalam satu titik. Dalam perkelahian sengit itu, Wedana Sulang tewas di tangan Noyo Gimbal. Sejak saat itu, ia menjadi buronan Belanda — namun juga pahlawan bagi rakyat.


Pelarian dan Perlawanan

Noyo Gimbal meninggalkan desanya. Dengan langkah tegap dan tekad baja, ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain, menyamar sebagai rakyat biasa. Di setiap desa yang ia lewati, ia menyulut semangat perlawanan, mengajak rakyat untuk bangkit melawan penjajahan.

Dalam perjalanannya, ia tiba di sebuah tempat di utara Sulang. Di sana, ia melihat rumput tumbuh malang melintang di tengah jalan. Sambil tersenyum ia berkata:

“Rumput kok malang di tengah jalan, kelak bila ada perubahan zaman, tempat ini akan bernama Rumbut Malang.”

Sejak itu, nama Desa Rumbut Malang pun lahir — saksi dari langkah kaki seorang pemberontak yang menolak tunduk pada penindasan.


Perjalanan Menuju Timur

Perjalanan berlanjut. Di Rumbut Malang, penyamaran Noyo Gimbal hampir terbongkar setelah diketahui oleh pengikut Pangeran Sido Laut, Bupati Rembang saat itu. Namun ia tak tinggal diam — ia segera melanjutkan perjalanannya ke arah timur.

Di sebuah tempat yang dipenuhi pohon pisang (gedhang), Noyo Gimbal dan para pengikutnya beristirahat. “Kita beristirahat di tempat ini,” ujarnya. “Kelak tempat ini akan ramai dan disebut Gedhangan.” Dan benar, daerah itu kini dikenal dengan nama Desa Gedhangan.


Jejak di Tepi Laut

Langkah Noyo Gimbal akhirnya membawanya ke tepi laut. Di sana, ia melihat orang-orang sedang mencari tiram, padahal laut itu penuh dengan ikan.

“Kenapa mencari tiram, padahal laut penuh ikan?” katanya heran. Untuk mengenang keanehan itu, ia menamai tempat itu Tireman, dari kata tirem — dan begitulah Desa Tireman mendapatkan namanya.


Pertarungan dengan Demang Waru

Namun jejak perjuangan Noyo Gimbal selalu diawasi. Belanda mengutus Demang Waru untuk menangkapnya. Pertarungan sengit pun terjadi antara keduanya. Debu beterbangan, tanah bergetar, dan suara senjata beradu menggema di udara.

Namun ketika Demang Waru hampir mengayunkan gada untuk menghabisi lawannya, ia tiba-tiba tertegun. Ia melihat bahwa Noyo Gimbal ternyata sedulur sepadepokan, saudara seperguruan sendiri. Gada pun ia turunkan.

Untuk mengenang peristiwa itu, tempat pertempuran tersebut dinamakan Desa Godo, dari kata gugur niat — karena niat membunuh dibatalkan oleh persaudaraan.


Akhir yang Misterius

Kegagalan Demang Waru membuat Belanda murka. Mereka memerintahkan Bupati Rembang untuk menangkap keduanya. Namun, sebelum pasukan penjajah tiba, Noyo Gimbal dan Demang Waru menghilang tanpa jejak. Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi. Rakyat hanya menemukan hutan sunyi, yang kemudian dinamakan Tegal Sekethik — tempat wingit yang hingga kini dianggap keramat.


Warisan Semangat Noyo Gimbal

Kisah Noyo Gimbal bukan sekadar legenda — ia adalah simbol keberanian rakyat kecil yang melawan penindasan. Ia bukan bangsawan, bukan tentara, tetapi ia memiliki hati yang lebih besar dari rasa takut.

Rambutnya mungkin gimbal, tapi semangatnya tegak seperti jati. Dari Kapasan hingga Tegal Sekethik, jejak langkahnya membekas dalam nama-nama desa, dalam napas rakyat yang tak sudi dijajah.

Dan sampai hari ini, angin yang bertiup di Rembang seolah masih berbisik:

“Selama bumi masih berpijak, semangat Noyo Gimbal takkan padam.”































 

Ditulis oleh :
Editor : om jhon Bolodewe Traveler 
Reporter : Kusmining 

 

Share on Google Plus

About BOLODEWE TRAVELER

0 comments:

Posting Komentar